Kompolnas Berharap Polri Selekasnya Gelar Sidang Etik Terpidana Irjen Napoleon dan Brigjen Prasetijo
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mengharap Polri selekasnya melangsungkan sidang komisi kaidah pada dua perwira tinggi (pati) yang sekarang jadi terpidana kasus sangkaan suap penghilangan red notice Djoko Tjandra, yakni Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo.
Adapun kasus yang menangkap ke-2 jenderal polisi itu telah inkrah atau memiliki kekuatan hukum tetap.
“Kita nantikan dan mengharap sidang etik akan selekasnya dikerjakan,” kata Komisoner Kompolnas Poengky Indarti saat diverifikasi, Kamis (2/3/2023).
Poengky menjelaskan, faksinya juga lakukan koordinir dengan Seksi Karier dan Penyelamatan (Propam) Polri berkaitan ini. Ia menambah, team Propam saat ini masih lakukan penyiapan berkaitan sidang etik itu.
Poengky menambah, sidang etik pada Napoleon dan Prasetijo perlu diadakan supaya tidak ada kesan-kesan diskriminasi pada lembaga Polri.
“Ingat bila tidak selekasnya diadakan sidang etik, akan dipandang seperti diskriminasi tindakan untuk lainnya, negara saat ini masih dibebani dengan bayar upah mereka, walau sebenarnya tindak pidana yang mereka kerjakan sudah bisa dibuktikan mencoret nama baik lembaga,” katanya.
Selanjutnya, Poengky memandang, tidak ada kendala untuk Polri dalam penyelenggaraan sidang kaidah pada dua pati itu.
Namun, dia mengerti penerapan etik pada Napoleon dan Prasetijo belum diadakan karena terakhir waktu ini, Polri terus-menerus hadapi permasalahan berkaitan pelanggaran anggota sebagai sorotan khalayak, seperti kasus pembunuhan merencanakan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat dan bencana kekacauan di Stadion Kanjuruhan.
“Hingga sumber daya manusia yang dipakai untuk lakukan pengecekan terbatas dan diprioritaskan tangani beberapa kasus tertera di atas,” katanya.
Dijumpai, sampai sekarang ini tidak ada info masalah penerapan sidang etik pada Napoleon dan Prasetijo walau kasusnya telah inkrah.
Kasus Napoleon
Irjen Napoleon Bonaparte ialah polisi yang terlilit kasus hukum karena terima suap dalam kasus pengurusan red notice Djoko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra.
Polisi memutuskan Napoleon sebagai terdakwa dalam kasus penghilangan red notice Djoko Tjandra.
Polisi menyangka Irjen Napoleon lakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam kasus itu.
Berkaitan kasus suap itu, Irjen Napoleon dijatuhi vonis 4 tahun penjara dan denda sejumlah Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.
Napoleon dipandang menyalahi Pasal 5 ayat 2 jo Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 seperti diganti dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 mengenai Pembasmian Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Tidak cuma terlilit kasus suap, saat Napoleon mengeram di Rumah Tahanan (Rutan) Bareskrim Polri, dia diperhitungkan lakukan penindasan pada rekanan satu selnya, yaitu Muhammad Kosman alias M Kace.
Dalam kasus itu, Irjen Napoleon Bonaparte dijatuhi hukuman sepanjang lima bulan 15 hari penjara. Dia bisa dibuktikan dengan cara sah dan memberikan keyakinan bersalah lakukan penindasan pada M Keren di Rumah Tahanan (Rutan) Bareskrim Polri pada Agustus 2021.
Atas perlakuan itu, bekas Kepala Seksi Jalinan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri itu bisa dibuktikan dengan cara sah dan memberikan keyakinan menyalahi Pasal 351 Ayat 1 juncto Pasal 55 Ayat 1 KUHP.
Bekas Kepala Agen Koordinir dan Pemantauan PPNS Bareskrim Polri Brigjen Praseijo Utomo diputuskan terdakwa karena salah gunakan kuasanya dengan keluarkan surat jalan untuk buron Djoko Tjandra atau Joko Soegiarto Tjandra pada 2020.
Prasetijo diperhitungkan menyalahi Ketentuan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 mengenai Code Etik Karier Polri dan PP Nomor 2 Tahun 2003 mengenai Disiplin Anggota Polri.
Dalam kasus ini, Prasetijo juga dihukum 3 tahun dan 6 bulan penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.
Prasetijo dipastikan bisa dibuktikan terima 100.000 dollar Amerika Serikat dari Djoko Tjandra. Uang itu diberi lewat pebisnis Tommy Sumardi sebagai mediator.
Prasetijo dipandang bisa dibuktikan menyalahi Pasal 5 ayat 2 jo Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 seperti diganti dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 mengenai Pembasmian Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.